Ketika telpon ditutup secara sepihak dengan akhir yang yah sama sekali tidak enak..
Hanya bisa diam dan menyesali perkataan apa saja barusan yang keluar dari mulut ini.
Saya tidak pernah paham dengan jalan pikiran kamu. Hingga sekarang.
Berkali-kali saya peringatkan diri saya kalau, "Ini gak apa-apa. Sabar!".
Yah, sepintas terasa sepi. Dan berakibat fatal. Saya diam. Saya menangis. Saya berkhayal yang seharusnya itu sangat tidak boleh.
Ada sebuah bayangan. Ada sebuah tangan terjulur dan mengelus kepala saya lembut. Saya sangat kenal sosok seperti bayangan ini.
"Neng kenapa nangis? Dianya gitu lagi ya? Sabar ya Neng sayang. Neng harus sabar. Inget kalau Neng udah janji sama Aa untuk gak gampang nangis lagi. Inget kan sama janjinya? Neng harus bisa lebih dewasa. Anggap ini sebagai ujian untuk sebuah kebahagiaan nanti. Hadapi dengan senyuman ya Neng sayang."
Bayangan itu hilang. Dan saya hanya bisa terdiam lagi.
Setelah itu saya hanya bisa mengutuki kebodohan saya kembali. Seharusnya saya tidak boleh lagi berkhayal seperti itu. Tapi khayalan itu seperti nyata.
Ah, saya hanya butuh kamu yang sudah menutup telpon saya secara sepihak. Saya tidak butuh sosok bayangan itu.
Tapi kamu sendiri yang terkadang tanpa sengaja membuat saya berkhayal sosok bayangan itu lagi.
No comments:
Post a Comment