Friday, June 7, 2013

Akan Selalu Ada


Dalam diam aku duduk sendiri di sudut rumah makan ini. Dengan segelas strawberry juice yang sudah hampir habis. Entah kenapa dari tadi aku hanya menatap kosong layar laptop ku dan banyak menghela napas.


Aku teringat sesuatu. Mimpiku semalam. Mimpi aneh.


Di salah satu ruang kelas sekolah ku, aku duduk di sana. Seperti biasa ketika kegiatan belajar mengajar berlangsung. Sama sekali tidak ada kejanggalan. Namun, tiba-tiba pintu kelas terbuka. Masuk lah wali kelas ku dengan seorang anak laki-laki berpostur tubuh tinggi dan kurus. Dia putih dan tampan. Sangat tampan.

"Tolong perhatiannya ya anak-anak semua, ini ada anak baru yang akan sekelas dengan kalian. Ki, coba kamu perkenalkan diri kamu."

"Pagi semuanya. Nama saya Riski Adana. Saya biasa dipanggil Kiki. Pindahan dari Malang. Salam kenal semuanya."


Aku yang tidak memperhatikannya karena tidak tertarik, tiba-tiba tersedak air ludah ku sendiri ketika mendengar nama itu.

"Apa? Riski Adana? Tidak mungkin teman saya waktu dulu kan. Amin. Amin. Ya Tuhan.."


Dari sini saja mimpiku sudah aneh.


Mimpiku seperti ditekan tombol forward. Aku sudah berada di situasi sedang istirahat.

"Ata! Lihat PR lo dong. Nyocokin. Hehehe."


Seperti biasa. Mencocokkan jawaban PR itu hanya alasan klise. Padahal ada niat "busuk" di dalam mencocokkan itu.

Ah iya, di dalam mimpiku, murid pindahan itu sudah mulai akrab dengan temanku yang lainnya. Tapi dia sempat melihat ke arah ku ketika teman ku yang meminjam PR memanggil namaku.

"Ya Tuhan, semoga dia tidak pernah sadar akan siapa aku. Aku mohon.."

Lagi-lagi mimpiku seperti film yang dipercepat. Aku sudah berada di situasi pulang sekolah.

Di sini normal, aku pulang dengan berjalan kaki. Rumahku tidak terlalu jauh dari sekolah. Hanya 2km. Menurutku itu tidak jauh. Sama sekali tidak.

Jalanku santai. Seperti biasanya. Tiba-tiba...

"Ata! Kenapa kamu tidak ingat sama saya?"

Anak pindahan itu lagi.

"Kamu Ata kan?"

Aku tetap diam mematung. Aku takut.

"Kamu benaran Ata kan? Teman SD saya. Kenapa kamu diam aja sih?" Dia berkata itu sambil memegang tanganku.

Aku takut. Benar-benar takut. Aku tarik tanganku secara kasar.

"Maaf. Mungkin kamu salah orang. Jangan sok kenal sok dekat gitu ya."

"Hai Ata sayang.. Saya sekarang sudah pulang ke sisi kamu lagi. Please be nice. Saya udah mohon-mohon ke mama untuk pindah ke sini supaya bisa ketemu kamu lagi. Ata,, please.. ingat saya."

"Kamu bukan Iki yang saya kenal seperti dulu."

"Kenapa? Memang bedanya apa? Hanya berbeda di nama panggilan saja kan?"

"Beda! Saya bilang beda ya beda!!!" Aku berteriak kencang.


Tiba-tiba aku terbangun.

Begitulah mimpiku.

Aku selalu takut dengan sosok orang itu.

"Ata sayang, kenapa selalu tidak pernah memberitahu saya dulu kalau kamu sedang di sini?"

"Ah kamu, kamu kan sudah tau. Lantas buat apa aku beri tau."

"Ya benar. Karena saya akan selalu ada untuk kamu. Akan selalu ada di dekat kamu. Bahkan sampai hanya tinggal ruh saya saja."

Aku tercekat akan kalimat itu.


***


Setahun yang lalu...

"Kamu selingkuh kan?! Jawab saya, Ta!"

"Gak Ki. Gak. Dia itu cuma teman saya. Serius. Saya gak bohong."

"Plak..." Tamparan yang sudah kesekian kalinya.

"Ta, saya tidak suka sama sekali melihat kamu jalan dengan laki-laki lain. Saya sayang sama kamu! Kamu tau itu kan?!"

"Tapi dia cuma teman Ki. Percaya sama saya." Suaraku makin parau.

"Tidak semudah itu saya akan percaya sama kamu."

"Heeekk...Ki..Ki..Lepasin Ki!" Aku meronta-ronta. Aku dicekik olehnya.

Aku dorong dia dengan sekuat tenaga. Tapi apa?

Kepalanya terbentur kencang bagian sudut meja yang terbuat kayu jati. Kepalanya mengeluarkan darah banyak sekali. Aku terhuyung melihat darahnya.

Dengan darah yang mengucur itu, dia berusaha berdiri dan mengambilkan sebuah bantal kecil di dekatnya. Dan menghampiri ku.

"Tutup mata kamu pakai bantal Ta. Saya tidak mau di sisa akhir hidup saya, saya melihat kamu pingsan karena melihat darah saya." Ucapnya sambil menjulurkan bantal.

"Sekarang kamu pulang aja ya Ata sayang. Maaf saya tidak bisa antar kamu."

"Tapi darah kamu gimana itu?" Kataku terbata-bata.

"Sudah kamu pulang saja. Apa kamu mau melihat darah saya terus?"

Akhirnya aku pulang dengan tubuh menggigil.

Sampai rumah, bunda memberitahu kalau Iki sudah meninggal. Kata bunda lagi, Iki meninggal karena bunuh diri.

"Bunuh diri? Bagaimana bisa dibilang bunuh diri?"

Aku masuk ke kamar. Bunda membiarkan ku, dia anggap aku sedang terpukul dengan kabar itu. Aku nyalakan handphone ku yang tadi sempat ku matikan.

Ada pesan singkat yang masuk.

"Ata sayang, maafin saya dengan kejadian tadi. Saya hanya takut kehilangan kamu. Saya sama sekali tidak bermaksud kasar. Maafkan saya ya Ta. Saya akan selalu ada untuk kamu. Akan selalu ada di dekat kamu. Bahkan sampai hanya tinggal ruh saya saja. Saya janji."


***


Sejak kejadian setahun lalu itu, suara-suara Iki selalu ada di dekat aku. Bahkan sampai masuk ke dalam mimpiku. Dengan cerita mimpi yang berbeda.


Yang sampai sekarang membuat ku penasaran, kenapa kematian Iki dikatakan murni karena bunuh diri? Ah, Iki...




Depok, 16 Maret 2008
Anonymous
Unknown Web Developer

No comments:

Post a Comment