Wednesday, June 19, 2013

Terjebak Hujan


Pernah suatu kali saya benar-benar terjebak karena hujan.

Kebetulan ketika itu semua anggota keluarga sedang pergi ke Solo. Saya tidak bisa ikut. Sidang tugas akhir saya sudah berada di depan mata. Alhasil saya sendiri di rumah.

Hujan sangat deras ketika itu. Di media sosial mengabarkan kalau ini sedang hujan badai.

Persediaan makanan saya di rumah, hanya tinggal dua bungkus mie rebus rasa soto dan dua butir telur.

Saya tidak panik karena esoknya pasti mereka sudah akan balik.

Seharian ini saya habiskan waktu di dalam kamar. Berbagai buku referensi untuk tugas akhir saya, sudah saya khatam kan. Saya bosan untuk menonton televisi. Saya sudah suntuk melihat layar laptop. Saya juga belum lapar meskipun udara sedang sangat dingin dan sudah waktunya jam makan siang.

"Ddrreettt.. drreett.." Handphone saya bergetar pertanda ada pesan masuk atau ada panggilan masuk.

Ternyata sebuah panggilan masuk. Tapi dilayar handphone mengatakan "unknown". Seseorang menelpon saya dengan private number. Biasanya saya malas sekali menerima panggilan masuk tidak jelas seperti itu. Namun kali ini, saya coba terima.

"Hallo. Siapa nih?" Sapa saya.

Sepi. Tidak ada suara sama sekali.

"Hallooooo... Ini siapa ya?" Kata saya lagi dengan nada sedikit ditinggikan.

Lagi-lagi sepi yang saya dapatkan.

"Mas atau mbak, kalau emang mau telpon, ya ngomong lah. Jangan iseng kayak gini. Bye!" Saya kesal sekali.

Ah, untuk apa juga tadi saya menerima panggilan masuk itu. Bodoh. Menciptakan kekesalan sendiri.

Teesss.. Mati listrik.

Saya tidak panik. Saya bukan seorang penakut. Saya bukan seorang pengidap phobia kegelapan. Saya hanya seorang pengkhayal yang berlebihan. Itu parahnya.

Saya harus ke bawah, tepatnya ke dapur untuk mengambil beberapa batang lilin dan sekotak korek api. Gelap sekali. Saya bergidik. Saya nyalakan handphone saya agar setidaknya dapat cahaya walaupun sedikit. Akhirnya saya dapatkan lilin dan korek apinya. Saya segera kembali ke kamar.

Sesampainya di kamar, saya segera nyalakan lilin ini. Saya pasang 3 batang lilin.

Saya merebahkan diri ke kasur yang saya sebut sebagai kasur surga. Empuk sekali.

Hening. Hanya ada suara gemuruh petir yang saling bersahutan di luar sana. Dan suara derasnya air yang tumpah dari langit.

Handphone ini bergetar kembali. Ah, private number lagi yang menelpon. Saya abaikan. Cukup lama. Kalau memang iseng, pasti akan langsung dimatikan jika sudah cukup lama tidak diterima. Baiklah, saya terima.

"Hallo.."

Lagi, sepi itu lagi.

Tiba-tiba,

"Saya sayang sama kamu. Sangat sayang."

Suara laki-laki! Tapi saya tidak kenal siapa pemilik suara itu. Saya rasa, saya tidak pernah dengar suara seperti si penelpon itu. Lalu telpon dimatikan sepihak.

Aneh.

Saya coba ingat ingat suara siapa itu.

Ada suara pagar rumah saya terbuka. Siapa itu? Saya segera ambil handphone saya dan berlari ke bawah.

Ada seorang laki-laki bertubuh tinggi memakai jas hujan berwarna gelap. Wajahnya tidak terlihat. Dia segera masuk ke dalam garasi rumah saya. Jantung saya berdegup sangat kencang. Saya ketakutan. Saya berpikir bahwa pasti akan ada suara ketukan pintu. Namun, tidak ada. Saya segera berjalan ke arah pintu yang berada di garasi. Sudah tidak ada laki-laki itu. Hanya ada sebuah surat dengan amplop berwarna merah segar berbentuk persegi panjang. Tergeletak dengan posisi terbalik. Pasti surat ini diselipkan lewat kisi-kisi pintu bagian bawah. Dengan perasaan ragu, saya ambil surat itu. Ketika saya balik untuk melihat sampul bagian depannya,,

"Kepada Yth.
Mr. Djumanto
Di tempat"

Ah, ternyata surat untuk ayah dari Bank. Dan laki-laki berjas hujan berwarna gelap itu, pasti pak pos.

Dengan santai saya berjalan kembali ke kamar dengan sebelumnya menaruh surat itu di kamar ayah.

Akhirnya saya tertidur. Saya tidak tau sudah berapa lama saya tertidur. Saya terbangun ketika ada suara petir menggelegar sangat kencang. Saya coba memeriksa handphone saya. Ada 4 panggilan tak terjawab dengan memakai private number. Ah, saya tidak peduli.

Saya lihat bagaimana keadaan di luar sana dari jendela kamar saya. Makin gelap saja langitnya. Hujan tetap saja makin heboh.

Tiba-tiba saya teringat sesuatu. Saya buka lemari di bawah rak buku saya. Lemari yang menyimpan semua rahasia. Ada surat cinta pertama yang saya dapat dari seseorang ketika SD. Ada bunga mawar kering. Dan masih banyak lagi barang yang saya anggap sangat berarti yang saya letakkan di masing-masing kotak. Ada 2 buah kotak. Kotak yang satu berukuran kecil dan yang satunya lagi berukuran sedang. Kotak berukuran kecil sudah terlihat penuh. Namun kotak berukuran sedang hanya terisi satu buah surat cinta. Ya, surat cinta pertama saya. Kenapa tidak ditukar saja kotaknya? Seharusnya surat itu berada di kotak kecil. Dan semua barang-barang di kotak kecil dipindahkan ke kotak sedang agar muat. Tapi itu tidak saya lakukan. Saya masih berharap kalau kotak berukuran sedang itu akan terisi lagi dengan kenangan-kenangan saya bersama si pemberi surat cinta itu.

Setelah mengenang itu semua, saya kembali merebahkan diri ke kasur. Mata ini banjir. Sangat deras.

Saya ingin menggembok pagar rumah saja dulu. Agar tidak perlu menunggu hingga malam datang. Toh saya juga tidak akan pergi kemana-mana.

Sesudah itu, saya tertidur kembali. Mengantuk sekali rasanya. Padahal waktu menunjukkan masih sore.

Hingga akhirnya....

Handphone saya bergetar lagi. Saya kumpulkan ruh tubuh saya untuk bisa bergerak.

Ayah?

"Kenapa yah?"

"Bukain gembok pagar dong. Kita udah sampai rumah nih."

"Sampai rumah? Bukannya besok baru pulangnya?"

"Yee.. Ini udah hari besok yang kamu maksud. Buruan buka gemboknya."

Segera saya memeriksa keadaan di luar dari jendela kamar saya. Cerah. Matahari sudah dengan gagahnya menampilkan diri di langit. Saya lihat jam, sudah pukul 12 siang lewat 15.

Astaga... Nyenyak sekali saya tertidur pada hari itu.

2011

Anonymous
Unknown Web Developer

No comments:

Post a Comment